Minggu, 15 Maret 2009

Serba-Serbi UAN

UJIAN NASIONAL ANTARA HARAPAN DAN KECEMASAN(2008-2009)


Ujian Nasional (UN) selalu menarik perhatian semua elemen dalam masyarakat, setidaknya untuk lima tahun terakhir terutama sejak terjadinya perubahan fundamental pelaksanaan sistem ujian di Indonesia. Semua ahli, politisi, LSM, kalangan media, masyarakat umum dan orang tua, ikut berbicara. Menunjukkan rasa perhatian yang besar, juga rasa keprihatinan. Harapan dan juga kecemasannya masing masing. Semua kalangan berharap, tidak terjadi kecurangan lagi saat pelaksanaan UN, seperti yang disebut sebut selama ini. Stakeholder pendidikan, terutama Kepala sekolah, guru bidang studi yang di-UN-kan, siswa serta para orang tua-pun harap harap cemas, bila jumlah lulusan tidak mencapai target yang ditetapkan. Rasa cemas dapat memicu timbulnya perilaku negatif. Perilaku dimana stakeholder pendidikan, kepala sekolah, guru dan siswa dapat melakukan kerjasama mencari cara cara yang tidak sah saat pelaksanaan UN, tujuannya untuk mencapai target angka kelulusan yang telah ditetapkan. Suatu hal yang tabu untuk dilakukan. Rasa cemas hendaknya dikelola dengan baik dan dijadikan kekuatan untuk meningkatkan kelulusan dan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Rasa cemas hendaknya mendorong siswa belajar lebih tekun, mendorong guru mengajar lebih baik, mendorong kepala sekolah untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap proses pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Para orang tua juga harus memberi perhatian ekstra khusus terhadap pembelajaran anak anak mereka. Dan masyarakatpun, harus menciptakan suasana tenang yang dapat mendorong peserta ujian untuk dapat belajar dengan baik. Pemantapan persiapan untuk membekali siswa menghadapi UN sudah terprogram dengan baik, melalui upaya meningkatkan intensitas kegiatan belajar mengajar (KBM) dan tentu melakukan pendalaman materi secara intensif seperti yang dilakukan di berbagai sekolah di Yogyakarta. Sejak bulan April 2006 telah melakukan proses belajar mengajar secara intensif dengan memanfaatkan waktu efektif di sore hari. Bahkan mereka telah mencanangkan satu bulan sebelum pelaksanaan UN akan merubah jadwal pelajaran, dengan setiap hari siswa hanya khusus belajar mata pelajaran yang di-UN-kan. Siswa diberi pembekalan terhadap berbagai soal yang materinya diambil dari Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dibanyak tempat malah sebaliknya. Persiapan untuk membekali siswa menghadapi UN adem adem ayem aja. Kepala sekolah dan guru bidang studi yang di UN-kan tidak mempunyai konsep yang jelas, apa yang harus dilakukan dalam menghadapi UN. Tetapi sekolah dan para gurunya dijejali tanggung jawab penuh untuk dapat meluluskan anak didiknya 100%. Suatu angka yang harus dicapai, jika tidak, rentetannya sangat panjang. Di-cap tidak bisa menjaga nama baik, mencoreng muka dunia pendidikan dan pejabat pendidikan. Pun dianggap tidak dapat mengamankan kebijakan tertentu. Bagi sekolah swasta, rendahnya angka kelulusan membawa dampak, tidak diminatinya sekolah tersebut dimasa datang. Keadaan yang sangat keliru dan menodai makna pendidikan itu sendiri. Kontrovesi Ujian Nasional Tahun 2003, adalah awal terjadinya polemik UN. Pada tahun tersebut, dunia pendidikan kita dikejutkan dengan lahirnya Ujian Akhir Nasional (UAN) sekaligus merupakan konversi dari sistem ujian model Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Konversi dari EBTANAS ke UAN dilatarbelakangi oleh makin rendahnya kualitas lulusan yang diuji lewat EBTANAS. Tidak ada decak kagum menyambut lahirnya terobosan baru ini. Suatu pembudaya-an terhadap standar kelulusan siswa, baru dimulai. Yang ada, reaksi yang berlebihan berupa kecaman dan penolakan dari masyarakat, termasuk suara vokal dari anggota dewan terhormat, kalangan legislatif.Saat pelaksanaan UN 2006, kalangan anggota DPR mengeluarkan kata penolakan saat akan dilaksanakannya UN. Padahal pada tahun 2005, DPR telah merestui dilaksanakannya UN asal tidak bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Alhasil, terbentuklah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Fenomena anggota DPR menolak ujian berskala nasional dan kemudian merestuinya, juga terjadi sejak diberlakukannya Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2003. Inkonsistensi ini melahirkan pertanyaan, ada apa dibalik kontroversi UN ?Penulis beranggapan bahwa kontroversi UN terjadi karena kesalahpahaman dalam menginterprestasikan pasal pasal yang berkaitan dengan evaluasi dalam UU Sisdiknas. Bagi mereka yang kontra UN, selalu menjadikan
Pasal 57 Ayat (1) : ” Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan ”, sebagai rujukannya. Berbekal ayat ini mereka berdalih bahwa UN telah merampas hak pedagogi pendidik, menafikan peranan guru selama tiga tahun pembelajaran. Sesungguhnya, pendidiklah yang paling berhak menentukan lulus tidaknya peserta didik. Penilaian yang dilakukan oleh guru dimaknai sebagai penilaian internal. Sedangkan UN merupakan penilaian ekternal yang diselenggarakan untuk mengukur pencapaian standar nasional dan untuk memperoleh pengakuan yang lebih luas dari pada hasil penilaian internal. Banyak kalangan belum mengerti sepenuhnya makna yang terkandung dalam pelaksanaan UN. UN dilaksanakan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada setiap akhir satuan pendidikan, sehingga bagi mereka yang lulus akan mendapatkan sertifikat kelulusan sebagai tiket untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UN harus dimaknai sebagai ujian berskala nasional yang standar kompetensi lulusan, kurikulum dan butir soalnya dikendalikan secara nasional. Dalam perspektif standar nasional secara langsung dan tidak langsung menyebabkan meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan makna yang terkandung pada Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sering disebut dengan UU Sisdiknas), pasal 35 ayat (1) nya, secara eksplisit menyebutkan bahwa : ” standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berskala ”. Kaitannya dengan standar nasional pendidikan, UN merupakan salah satu cara untuk merealisasikan standar nasional dimaksud, khususnya berkaitan dengan standar kompetensi lulusan. Meski tingkat kelulusan siswa era EBTANAS nyaris sempurna 100%, berbeda dengan UAN dan UN, kelulusan peserta ujian bervariasi setiap tahunnya. Tergantung kesiapan peserta dan keprofesionalan guru dalam mengajar. Lalu, manakah yang lebih berkualitas, UN atau EBTANAS ?. Belum ada penelitian ke arah sana. Pakar Pendidikan, Fuad Hasan menyatakan bahwa : ” Ujian yang seluruh pesertanya lulus, sama buruknya dengan ujian yang seluruh pesertanya gagal ”. Suatu pernyataan yang sangat dalam maknanya.Peran PemerintahPemerintah sebagai pengemban amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mempunyai kewajiban menjamin pendidikan yang berkualitas untuk setiap warga negaranya. Karena itu, pemerintah wajib melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan formal dan non formal. Pendidikan yang berkualitas, berkontribusi besar pada peningkatan kualitas SDM Indonesia. Kualitas SDM juga ditentukan oleh banyaknya lulusan yang mempunyai kompetensi secara nasional maupun internasional.Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah, dari mana kita memulai langkah memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia ? Sah sah saja kalau hal ini jadi bahan perdebatan dimasyarakat luas. Ada mazhab, dahulukan peningkatan kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik. Ada mazhab, perbaiki sarana dan prasarana pendidikan. Mazhab lainnya mengatakan, lakukan reformasi terhadap sistem kurikulum dan evaluasi. Silang pendapat ini baik dan mencerdaskan, asal tetap mengutamakan kepentingan dunia pendidikan kita di masa depan. Ada baiknya, upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia bisa dilakukan secara paralel dengan pemberian tanggung jawab yang proporsional dan profesional kepada setiap stakeholders pendidikan.Para ahli dari berbagai disiplin ilmu tetap fokus dengan komitmen keilmuwannya dan tidak asal berbicara di luar keahliannya dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Mereka harus menciptakan kesatuan harmoni dalam memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan. Jika itu dilakukan, upaya meningkatkan mutu pendidikan akan terasa ringan, tidak sulit dan jauh dari kerumitan seperti selama ini terjadi. Namun, jika dogma ” kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah ”, masih menghegomoni setiap ahli, setiap praktisi, politisi dan pemangku keputusan pendidikan di Indonesia, maka peningkatan kualitas pendidikan tetap akan menjadi kemustahilan dan nampak sebagai sebuah kesulitan yang teramat besar. Tanggung jawab besar inilah yang harus diemban pemerintah dalam me-eleminir setiap kebijakan kebijakan in-efektif dan in-efisiensi dalam memajukan kualitas pendidikan di Indonesia.Pemerintah juga mempunyai tanggung jawab penuh untuk mensosialisasikan UN, dampak baik dan buruknya, hingga masyarakat luas memahami benar untuk apa UN diadakan. Masyarakat masih beranggapan, bahwa UN sebagai satu satunya penentu kelulusan. Padahal masih ada komponen penting lainnya yang ditentukan pendidik dan satuan pendidikan. Pemerintah dituntut penuh untuk membentuk Lembaga Independen yang memiliki otoritas penuh terhadap penyelenggaran UN, seperti terdapat di banyak negara. Tidak seperti sekarang ini. Banyak pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan UN. Soal dibuat oleh Puspendik Diknas, yang mencetak soal urusan Diknas Provinsi dan yang menetapkan standar kelulusan BSNP. Kalau terjadi kebocoran soal, siapa yang harus bertanggung jawab ? Jika ada lembaga independennya, kebocoran soal menjadi tanggung jawab penuh lembaga dimaksud. Pihak pihak yang berkompeten, tinggal meminta pertanggung jawaban lembaga tersebut, tidak ada lagi upaya mencari kambing hitam, sebagaimana kebiasaan yang terjadi selama ini.Menuju Sumber Daya Manusia BerkualitasRendahnya kualitas pendidikan Indonesia, dapat dilihat dari beberapa indikator UN. UN tahun 2006, menetapkan angka standar kelulusan tiap mata pelajaran minimal 4,26 dan standar kelulusan rata rata semua mata pelajaran yang di-UN-kan harus lebih besar dari 4,50. Maknanya peserta ujian wajib mencapai nilai di atas 4,25 tiap mata pelajaran sekaligus harus memperoleh nilai rata rata semua mata pelajaran di atas 4,5 untuk dinyatakan lulus UN. Pemerintah melalui BSNP menetapkan angka batas standar kelulusan 4,26 dari skala 10. Pengertian sederhananya bahwa setiap siswa harus mempunyai kemampuan dalam menguasai materi ajar sebesar 42,6% dari semestinya 100%. Jelas angka 42,6% itu masih di bawah rata rata. Prosentase inilah yang baru dapat dipatok pemerintah melalui UN, untuk dapat meluluskan siswanya. Suatu angka yang masih rendah bila dibandingkan dengan negara negara tetangga kita. Rendahnya kualitas lulusan ini berkontribusi signifikan terhadap makin merosotnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dan menempatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari dari 177 negara dalam hal pencapaian Human Development Index (HDI), lebih rendah dari Vietnam. Apa boleh buat, itulah baru kualitas pendidikan kita.Melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Pemerintah telah mengumumkan bahwa standar kelulusan UN tahun 2007 makin tinggi dan menggunakan standar ganda. Peserta UN dinyatakan lulus, jika memiliki nilai rata rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan catatan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,0. Khusus untuk siswa SMK, nilai mata pelajaran kompetensi kejuruan minimum 7,00. Standar kelulusan ganda ini merupakan standar minimal, sehingga satuan pendidikan dapat menentukan standar kelulusan UN lebih tinggi lagi.Setelah siswa mampu melewati standar kelulusan minimal UN, mereka tidak serta merta dinyatakan lulus dari Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Siswa dapat dinyatakan lulus, apabila : (1) telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, (2) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok, mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan, (3) lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan (4) lulus ujian nasional (UN).Penilaian akhir untuk masing masing kelompok mata pelajaran dilakukan oleh Satuan Pendidikan dengan mempertimbangkan hasil penilaian siswa oleh pendidik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan efeksi siswa, serta melalui ulangan dan atau penugasan untuk mengukur asfek kognitif siswa. Pengamatan yang dilakukan untuk menilai kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dapat berdasarkan pada indikator : (1) rajin melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianut, (2) rajin mengikuti kegiatan keagamaan, (3) jujur dalam perkataan dan perbuatan (4) mematuhi aturan sekolah, (5) hormat terhadap pendidik dan (6) tertib ketika mengikuti pelajaran di kelas. Ulangan dan atau penugasan dilakukan sekolah /madrasah dengan materi ujian berdasarkan pada kurikulum yang digunakan. Hasil penilaian akhir terdiri dari dua aspek yang masing masingnya harus minimum baik. Hasil pengamatan terhadap perkembangan perilaku, minimum baik, hasil ulangan dan atau penugasan minimum baik. Ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan tujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi yang tidak diujikan pada UN, yang terdiri dari ujian tertulis dan ujian praktek. Naskah soal ujian dikembangkan oleh pendidik dan satuan pendidikan. Hasilnya digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan keberhasilan siswa dari satuan pendidikan, pembinaan siswa, pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangan fasilitas dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.

• Sumber : http://plizkillme.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar